
Sharding merupakan solusi teknis yang dirancang untuk meningkatkan skalabilitas jaringan blockchain dengan membagi jaringan menjadi bagian-bagian kecil yang disebut 'shard'. Setiap shard berperan memproses sebagian transaksi dan smart contract, sehingga tidak semua node perlu memproses seluruh transaksi di jaringan. Dengan mekanisme pemartisian ini, pemrosesan transaksi dapat dilakukan secara paralel, yang secara signifikan meningkatkan throughput sambil mengurangi kebutuhan sumber daya pada tiap node, sehingga meningkatkan skalabilitas jaringan secara signifikan.
Teknologi sharding awalnya berasal dari bidang basis data tradisional dan bukan merupakan inovasi eksklusif blockchain. Dalam sistem manajemen basis data, sharding telah lama digunakan untuk menangani dataset berukuran besar dengan membagi basis data ke beberapa bagian yang didistribusikan pada berbagai server guna meningkatkan efisiensi pemrosesan.
Ketika jaringan blockchain utama seperti Bitcoin dan Ethereum mengalami hambatan skalabilitas—terutama saat kecepatan proses transaksi belum mampu memenuhi kebutuhan aplikasi berskala besar—peneliti mulai mengadopsi sharding ke dunia blockchain. Pada rencana upgrade Ethereum 2.0, sharding menjadi komponen inti yang bertujuan mengatasi masalah kemacetan jaringan.
Penerapan sharding pada blockchain menandai peralihan penting dari model validasi full-node tunggal ke arsitektur multilayer yang lebih skalabel, serta menjadi dasar bagi pengembangan aplikasi komersial blockchain berskala besar.
Sharding dalam jaringan blockchain melibatkan beberapa proses utama berikut:
Pemartisian Jaringan: Jaringan blockchain dibagi menjadi sejumlah shard, di mana masing-masing shard memiliki kumpulan node validator sendiri.
Penugasan Node: Node dalam jaringan secara acak ditempatkan pada shard berbeda, biasanya berdasarkan mekanisme konsensus atau algoritma acak. Keacakan ini penting untuk mencegah pelanggaran keamanan pada shard.
Pemisahan State: State global blockchain dipisah agar setiap shard hanya menjaga dan memvalidasi data state yang relevan dengan shard tersebut.
Komunikasi Antar-Shard: Jika transaksi melibatkan data dari beberapa shard, diperlukan protokol khusus untuk komunikasi dan pertukaran data antar-shard.
Konsensus Berlapis: Arsitektur sharded umumnya menggunakan model konsensus dua lapis—proses konsensus dalam masing-masing shard, kemudian hasilnya dikirim ke rantai utama (main chain) atau rantai beacon (beacon chain) untuk konfirmasi akhir.
Jaminan Ketersediaan dan Integritas Data: Meski jaringan terpartisi, ketersediaan dan integritas data harus tetap terjamin, umumnya melalui teknik sampling verifikasi data.
Walaupun sharding menawarkan solusi skalabilitas blockchain, teknologi ini juga membawa tantangan teknis dan keamanan sebagai berikut:
Penurunan Keamanan: Daya komputasi atau staking pada satu shard lebih rendah dibandingkan seluruh jaringan, sehingga ambang serangan shard lebih rendah dan meningkatkan risiko serangan pengambilalihan shard tunggal.
Kompleksitas Transaksi Antar-Shard: Transaksi yang melibatkan beberapa shard membutuhkan mekanisme koordinasi kompleks, yang dapat meningkatkan latensi dan menurunkan throughput.
Masalah Ketersediaan Data: Menjamin data relevan tetap dapat diakses setelah sharding menjadi tantangan teknis tersendiri.
Ledakan State: Semakin banyak shard, semakin tinggi kompleksitas dalam menjaga state antar-shard secara eksponensial.
Keseimbangan antara Desentralisasi dan Jumlah Shard: Penambahan shard dapat meningkatkan throughput, namun pengurangan jumlah validator pada shard berpotensi menurunkan keamanan, sehingga diperlukan keseimbangan optimal.
Kesulitan Implementasi: Migrasi blockchain yang sudah ada ke arsitektur sharded membutuhkan hard fork dan restrukturisasi sistem berskala besar, sehingga implementasi teknisnya sangat kompleks.
Tantangan-tantangan sharding ini menjadi fokus utama riset blockchain saat ini. Banyak proyek sedang berupaya mencari solusi optimal untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.
Teknologi sharding merupakan arah penting untuk peningkatan skalabilitas blockchain dan memiliki potensi mengatasi hambatan throughput yang dihadapi jaringan blockchain saat ini. Dengan membagi beban kerja ke berbagai shard, blockchain berpotensi mencapai skalabilitas linier secara teori, sehingga kapasitas jaringan bertambah seiring pertumbuhan jumlah node. Hal ini sangat penting bagi adopsi blockchain secara luas karena langsung berkaitan dengan dukungan volume transaksi setara sistem keuangan tradisional. Ketika platform utama seperti Ethereum mulai menerapkan solusi sharding, teknologi ini akan diuji secara nyata dalam beberapa tahun ke depan dan berpotensi menjadi bagian arsitektur standar pada blockchain berperforma tinggi. Sharding bukan sekadar peningkatan teknis, melainkan perubahan mendasar paradigma desain blockchain—dari mengejar keamanan mutlak menuju pencapaian keseimbangan optimal antara keamanan, desentralisasi, dan skalabilitas.


